Rabu, 18 April 2018

Perlindungan terhadap konsumen dari promosi iklan obat nyamuk yang menyesatkan

Pengertian Perlindungan Terhadap Konsumen

Secara filosofis, perlindungan konsumen dilakukan untuk menciptakan keseimbangan hak dan kewajiban diantara pelaku usaha dan konsumen, sehingga paradigma uzur let be consumer beware (konsumen yang harus berhati -hati dalam mengkonsumsi barang dan jasa) menjadi paradigma let producer beware (pelaku usaha harus berhati -hati sebelum memproduksi dan memperdagangkan barang dan jasa ke pasar).

Secara sosiologis, pengaturan perlindungan konsumen ditujukan untuk masyarakat sebagai konsumen dan masyarakat sebagai pelaku usaha. Masyarakat sebagai konsumen memiliki arti bahwa, konsumen harus cerdas dan cermat dalam memilih dan menggunakan suatu produk supaya dapat sesuai dengan kebutuhan dan harapan konsumen itu sendiri.

Sedangkan pada hakikatnya, perlindungan konsumen harus dilakukan dengan meningkatkan kesadaran, pengetahuan, kepedulian, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk memiliki kemampuan dalam melindungi, mencegah dan menyelesaikan permasalahanpermasalahan perlindungan konsumen, selain meningkatkan sikap pelaku usaha untuk dapat bertanggungjawab dalam melakukan produksi, distribusi hingga promosi atas barang dan jasa yang dimilikinya. Permasalahan dalam praktik, perlindungan konsumen di Indonesia yang dimulai sejak tahun 1999 ternyata belum mampu memberikan perlindungan konsumen yang optimal. Pelanggaran-pelanggaran yang terjadi dalam praktik terus terjadi dan terus berulang tanpa adanya tindakan yang kongkrit dalam mencegah dan menyelesaikan persoalan perlindungan konsumen (khususnya terhadap permasalahan peredaran iklaniklan yang menyesatkan).

Permasalahan Perlindungan Konsumen Terhadap Obat Nyamuk

Iklan obat anti nyamuk semprot dan bakar yang memiliki kesegaran aroma wangi-wangian yang seolah-olah dapat dengan bebas dan aman untuk dihirup, hingga iklan obat anti nyamuk lotion yang menghaluskan kulit yang seolah-olah dapat digunakan sebagai pelembab dan perawat kulit. Iklan tersebut beredar di masyarakat cenderung memiliki unsur menghasut dan unsur kebohongan yang sangat merugikan konsumen. Janji-janji yang ditawarkan dalam media promosi perlu dilakukan pengkajian lebih lanjut, karena ditemukan penyimpangan-penyimpangan terhadap janji-janji yang telah ditawarkan oleh pelaku usaha kepada para konsumen.

Permasalahan semakin kompleks ketika tidak adanya penegakan hukum yang dilakukan secara terintegrasi untuk mengatasi pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku usaha, sehingga pelanggaran-pelanggaran yang terjadi hingga saat ini dianggap sebagai hal yang wajar dalam melakukan suatu promosi sebuah produk. Hal ini semakin diperburuk dengan kurangnya sosialisasi terhadap masyarakat dalam menggunakan suatu produk.

Keberadaan iklan memang sangat penting bagi konsumen, karena keberadaan iklan dapat memberikan informasi, pengetahuan dan wawasan bagi konsumen itu sendiri. Keberadaan iklan-iklan juga sangat penting bagi eksistensi lembaga-lembaga penyiaran, karena iklan sebagai sarana yang efektif dalam memberikan informasi produk kepada konsumen, selain iklan merupakan salah satu sumber pendapatan bagi lembaga penyiaran.

Undang-Undang Tentang Iklan yang Menyesatkan

Mengkaji iklan-iklan yang menyesatkan dan menjebak konsumen dalam praktik, sebenarnya eksistensi iklan telah diatur dalam Pasal 8 ayat (1) huruf f Undang-Undang Perlindungan Konsumen yang menjelaskan bahwa, pelaku usaha dilarang untuk memproduksi atau memperdagangkan produk yang tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan atau promosi penjualan produk. Lebih lanjut, dalam mencegah dan mengatasi iklan-iklan yang bermasalah bagi konsumen, Undang-Undang Perlindungan Konsumen secara deskriptif telah mengatur karakteristik-karakteristik iklan yang dilarang, yaitu :

1. Iklan produk yang seolah-olah telah memenuhi dan/atau memiliki potongan harga, harga khusus, standar mutu tertentu, gaya atau mode tertentu, karakteristik tertentu, sejarah atau guna tertentu.

2. Iklan produk yang seolah-olah dalam keadaan baik dan/atau baru.

3. Iklan produk yang seolah-olah telah mendapatkan dan memiliki sponsor, persetujuan, perlengkapan tertentu, keuntungan tertentu, ciri-ciri kerja atau aksesori tertentu.

4. Iklan produk yang seolah-olah dibuat oleh perusahaan yang mempunyai sponsor, persetujuan atau afiliasi.

5. Iklan produk yang seolah-olah tersedia.

6. Iklan produk yang seolah-olah tidak mengandung cacat tersembunyi.

7. Iklan produk yang seolah-olah merupakan kelengkapan dari barang tertentu.

8. Iklan produk yang seolah-olah berasal dari daerah tertentu.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers (Selanjutnya cukup disebut sebagai Undang-Undang Pers) perusahaan iklan dilarang membuat dan mengiklankan :

1. Iklan yang berisi merendahkan martabat suatu agama, mengganggu kerukunan hidup antar umat beragama dan bertentangan dengan rasa kesusilaan masyarakat.

2. Iklan yang berisi tentang minuman keras, narkotika, psikotropika dan zat aditif lainnya.

3. Iklan yang berisi peragaan wujud rokok dan penggunaan rokok. Iklan-iklan yang disiarkan wajib memenuhi persyaratan yang telah dikeluarkan oleh KPI dan iklan yang disiarkan sepenuhnya menjadi tanggung jawab lembaga penyiaran. Lembaga penyiaran yang merupakan bagian dari pelaku usaha dalam Undang-Undang Penyiaran juga telah diberikan batasan-batasan yang jelas dalam melakukan siaran iklan, yaitu :

1. Iklan yang dihubungkan dengan ajaran suatu agama, ideologi, pribadi dan/atau kelompok yang menyinggung perasaan atau merendahkan martabat agama lain, ideologi lain, pribadi lain, atau kelompok lain.

2. Iklan minuman keras atau sejenisnya dan bahan atau zat adiktif.

3. Iklan rokok yang memperagakan wujud rokok.

4. Iklan yang bertentangan dengan kesusilaan masyarakat dan nilai-nilai agama.

5. Iklan yang berisi eksploitasi anak di bawah umur 18 tahun. Mengkaji perlindungan konsumen dihadapkan dengan iklan-iklan yang dianggap menyesatkan konsumen harus dapat dipandang berdasarkan hubungan sebab akibat (kausalitas) secara subjektif dan objektif, baik dari sisi konsumen maupun dari sisi pelaku usaha.