Pengertian Perlindungan Terhadap Konsumen
Secara filosofis, perlindungan konsumen dilakukan untuk menciptakan
keseimbangan hak dan kewajiban diantara pelaku usaha dan konsumen, sehingga
paradigma uzur let be consumer beware (konsumen yang harus berhati -hati dalam
mengkonsumsi barang dan jasa) menjadi paradigma let producer beware (pelaku usaha
harus berhati -hati sebelum memproduksi dan memperdagangkan barang dan jasa ke
pasar).
Secara sosiologis, pengaturan perlindungan konsumen ditujukan untuk
masyarakat sebagai konsumen dan masyarakat sebagai pelaku usaha. Masyarakat
sebagai konsumen memiliki arti bahwa, konsumen harus cerdas dan cermat dalam
memilih dan menggunakan suatu produk supaya dapat sesuai dengan kebutuhan dan
harapan konsumen itu sendiri.
Sedangkan pada hakikatnya, perlindungan konsumen harus dilakukan dengan meningkatkan
kesadaran, pengetahuan, kepedulian, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk
memiliki kemampuan dalam melindungi, mencegah dan menyelesaikan permasalahanpermasalahan
perlindungan konsumen, selain meningkatkan sikap pelaku usaha untuk
dapat bertanggungjawab dalam melakukan produksi, distribusi hingga promosi atas
barang dan jasa yang dimilikinya.
Permasalahan dalam praktik, perlindungan konsumen di Indonesia yang dimulai
sejak tahun 1999 ternyata belum mampu memberikan perlindungan konsumen yang
optimal. Pelanggaran-pelanggaran yang terjadi dalam praktik terus terjadi dan terus
berulang tanpa adanya tindakan yang kongkrit dalam mencegah dan menyelesaikan
persoalan perlindungan konsumen (khususnya terhadap permasalahan peredaran iklaniklan
yang menyesatkan).
Permasalahan Perlindungan Konsumen Terhadap Obat Nyamuk
Iklan obat anti nyamuk semprot dan bakar yang memiliki kesegaran aroma wangi-wangian
yang seolah-olah dapat dengan bebas dan aman untuk dihirup, hingga iklan
obat anti nyamuk lotion yang menghaluskan kulit yang seolah-olah dapat digunakan
sebagai pelembab dan perawat kulit. Iklan tersebut beredar di masyarakat cenderung memiliki unsur menghasut
dan unsur kebohongan yang sangat merugikan konsumen. Janji-janji yang ditawarkan
dalam media promosi perlu dilakukan pengkajian lebih lanjut, karena ditemukan
penyimpangan-penyimpangan terhadap janji-janji yang telah ditawarkan oleh pelaku
usaha kepada para konsumen.
Permasalahan semakin kompleks ketika tidak adanya penegakan hukum yang
dilakukan secara terintegrasi untuk mengatasi pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan
oleh pelaku usaha, sehingga pelanggaran-pelanggaran yang terjadi hingga saat ini
dianggap sebagai hal yang wajar dalam melakukan suatu promosi sebuah produk. Hal
ini semakin diperburuk dengan kurangnya sosialisasi terhadap masyarakat dalam
menggunakan suatu produk.
Keberadaan iklan memang sangat penting bagi konsumen, karena keberadaan
iklan dapat memberikan informasi, pengetahuan dan wawasan bagi konsumen itu
sendiri. Keberadaan iklan-iklan juga sangat penting bagi eksistensi lembaga-lembaga
penyiaran, karena iklan sebagai sarana yang efektif dalam memberikan informasi
produk kepada konsumen, selain iklan merupakan salah satu sumber pendapatan bagi
lembaga penyiaran.
Undang-Undang Tentang Iklan yang Menyesatkan
Mengkaji iklan-iklan yang menyesatkan dan menjebak konsumen dalam praktik,
sebenarnya eksistensi iklan telah diatur dalam Pasal 8 ayat (1) huruf f Undang-Undang
Perlindungan Konsumen yang menjelaskan bahwa, pelaku usaha dilarang untuk
memproduksi atau memperdagangkan produk yang tidak sesuai dengan janji yang
dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan atau promosi penjualan produk.
Lebih lanjut, dalam mencegah dan mengatasi iklan-iklan yang bermasalah bagi
konsumen, Undang-Undang Perlindungan Konsumen secara deskriptif telah mengatur
karakteristik-karakteristik iklan yang dilarang, yaitu :
1. Iklan produk yang seolah-olah telah memenuhi dan/atau memiliki potongan
harga, harga khusus, standar mutu tertentu, gaya atau mode tertentu,
karakteristik tertentu, sejarah atau guna tertentu.
2. Iklan produk yang seolah-olah dalam keadaan baik dan/atau baru.
3. Iklan produk yang seolah-olah telah mendapatkan dan memiliki sponsor,
persetujuan, perlengkapan tertentu, keuntungan tertentu, ciri-ciri kerja atau
aksesori tertentu.
4. Iklan produk yang seolah-olah dibuat oleh perusahaan yang mempunyai
sponsor, persetujuan atau afiliasi.
5. Iklan produk yang seolah-olah tersedia.
6. Iklan produk yang seolah-olah tidak mengandung cacat tersembunyi.
7. Iklan produk yang seolah-olah merupakan kelengkapan dari barang tertentu.
8. Iklan produk yang seolah-olah berasal dari daerah tertentu.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers (Selanjutnya
cukup disebut sebagai Undang-Undang Pers) perusahaan iklan dilarang membuat dan
mengiklankan :
1. Iklan yang berisi merendahkan martabat suatu agama, mengganggu
kerukunan hidup antar umat beragama dan bertentangan dengan rasa
kesusilaan masyarakat.
2. Iklan yang berisi tentang minuman keras, narkotika, psikotropika dan zat
aditif lainnya.
3. Iklan yang berisi peragaan wujud rokok dan penggunaan rokok.
Iklan-iklan yang disiarkan wajib memenuhi persyaratan yang telah dikeluarkan
oleh KPI dan iklan yang disiarkan sepenuhnya menjadi tanggung jawab lembaga
penyiaran. Lembaga penyiaran yang merupakan bagian dari pelaku usaha dalam
Undang-Undang Penyiaran juga telah diberikan batasan-batasan yang jelas dalam
melakukan siaran iklan, yaitu :
1. Iklan yang dihubungkan dengan ajaran suatu agama, ideologi, pribadi
dan/atau kelompok yang menyinggung perasaan atau merendahkan martabat
agama lain, ideologi lain, pribadi lain, atau kelompok lain.
2. Iklan minuman keras atau sejenisnya dan bahan atau zat adiktif.
3. Iklan rokok yang memperagakan wujud rokok.
4. Iklan yang bertentangan dengan kesusilaan masyarakat dan nilai-nilai agama.
5. Iklan yang berisi eksploitasi anak di bawah umur 18 tahun.
Mengkaji perlindungan konsumen dihadapkan dengan iklan-iklan yang dianggap
menyesatkan konsumen harus dapat dipandang berdasarkan hubungan sebab akibat
(kausalitas) secara subjektif dan objektif, baik dari sisi konsumen maupun dari sisi
pelaku usaha.